Minggu, 24 April 2011

Tiga Ranah Debat Sains dan Agama

Tiga Ranah Debat Sains dan Agama

Tulisan ini menyoroti tiga ranah debat antara sains dan agama: pertama, ranah moralitas; kedua, ranah sains; dan ketiga, ranah filosofis eksistensi Allah dan hakikat manusia. 


Tentu nilai-nilai altruistik yang umum ditawarkan agama-agama kuno, yang mendorong manusia mau berkorban demi kebaikan manusia lainnya, tetap relevan. Tetapi banyak moralitas yang ditawarkan agama-agama kuno tak cocok lagi sekarang ini. 


Menempatkan agama di bawah penelitian saintifik


Semua kitab suci agama kuno ditulis dalam suatu kebudayaan patriarkal yang merendahkan kaum perempuan. Patriarkalisme ini berbenturan dengan moralitas modern yang membela kemitraan sejajar perempuan dan lelaki dalam semua aspek kehidupan. Begitu juga, sementara orang modern menerima kesetaraan kalangan LGBT di semua bidang kehidupan, kalangan skripturalis kebanyakan agama membenci mereka.


Agama-agama teistik kuno, termasuk Yesus dan kekristenan perdana, membela teokratisme, yang kalau diterapkan sekarang akan berbenturan dengan banyak nilai moral yang dibela sistem demokrasi modern. Dalam dunia kuno, genosida dipraktekkan atas nama suatu allah, sementara kini dipandang sebagai satu musuh umat manusia. Dalam zaman modern, pemikiran bebas didorong dan dijamin oleh UUD suatu negara, tapi para agamawan kuno berbagai agama memakai kitab suci untuk memberangus pemikiran yang tak sejalan dengan isi kitab suci.

 
Pendek kata, ada banyak nilai moral yang ditawarkan kitab-kitab suci kuno, yang tak kena lagi untuk zaman sekarang. Akibatnya, fungsi agama sebagai satu sumber terpenting ajaran moral bagi kehidupan modern dipertanyakan. Sam Harris, dalam buku terbarunya, The Moral Landscape: How Science Can Determine Human Values (2010), menunjukkan bahwa sains modern, khususnya neurosains, dapat menjadi satu sumber nilai-nilai moral yang dibangun berdasarkan suatu kesadaran bahwa semua manusia membutuhkanwell-being, kesejahteraan, bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakatnya. 



Sains modern menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kemampuan untuk mempertahankan kehidupan mereka, lewat “selfish gene” (Richard Dawkins), dan lewat suatu mekanisme sosio-biologis “survival of the fittest” (Charles Darwin) yang bekerja dalam proses evolusi biologis, sosial dan kosmologis yang tak pernah selesai. Dalam diri spesies homo sapiens, manusia cerdas, yang memiliki “self consciousness” (kesadaran diri), dorongan mempertahankan kehidupan tak lagi bersifat naluriah, melainkan dipikirkan, diprogram, dan dievaluasi oleh otak manusia, dan dijalankan dalam tindakan dan perilaku. Dalam rangka inilah otak manusia menunjukkan suatu kemampuan untuk melahirkan nilai-nilai moral, lewat sains, lewat kesadaran yang tertanam dalam otak, dan lewat kemampuan berpikir retroaktif dan antisipatif yang menembus ruang dan waktu. 

Pengetahuan modern dan cara menganalisis objek-objek secara saintifik baru muncul abad 16 atau abad 17 lewat kegiatan penelitian Galileo Galilei (1564-1642), yang kini diakui sebagai Bapak sains modern, dan lewat analisis filosofis rasionalis RenĂ© Descartes (1596-1650) yang diakui sebagai Bapak filsafat modern dan dikenal luas lewat sebuah pernyataannya “Cogito ergo sum”, “Aku berpikir, maka aku ada.” Karena semua kitab suci ditulis pada masa pramodern, ketika orang belum mampu berpikir, mengobservasi dan menganalisis secara saintifik, jelas mustahil jika orang mau menemukan sains modern dalam kitab-kitab suci kuno. 

Jika kitab-kitab suci kuno benar memuat sains, mustinya sejak dulu para ahli kitab suci bisa menjadi para penemu sains. Faktanya tak demikian. 
Sains modern lahir bukan dari kegiatan mengkaji kitab suci apapun, tetapi dari eksperimentasi, dari observasi atas segala fenomena alam, dan dari kegiatan berpikir yang logis, mendasar, runtut, analitis, konsisten dan koheren. Kitab-kitab suci disusun berdasarkan suatu iman pada keberadaan makhluk-makhluk adikodrati (Allah, misalnya), tanpa suatu bukti empiris apapun yang membenarkan klaim imaniah ini. Suatu klaim saintifik hanya diterima benar jika ada bukti-bukti empiris yang mendukungnya. Kitab-kitab suci mengklaim kebenaran imaniah yang berlaku absolut dan diyakini tak bisa salah karena dipercaya datang sebagai wahyu. 

Sains tak bisa diabsolutkan, tak bisa diilahikan, meskipun tentu saja ada berbagai posisi saintifik yang sudah teruji dan sudah mapan. Sains juga tidak bisa diklaim tidak bisa salah, tetapi selalu terbuka pada falsifikasi saintifik dan reformulasi. 



Banyak agamawan mengklaim bahwa kitab suci mereka sejalan dengan sains modern. Tetapi sebetulnya mereka hanya dengan paksa mencocok-cocokkan sains modern dengan kitab suci. Jika sains yang semula diklaim sejalan dengan kitab suci berubah, mereka pasti akan mencari teks skriptural lain untuk dipaksa sejalan dengan sains modern. Kalaupun sejumlah agamawan bisa dengan jujur mempertemukan sains modern dengan keyakinan religius mereka, ternyata keyakinan religius mereka sudah sangat tidak ortodoks lagi. 

Kalaupun para agamawan dapat memasukkan Allah sebagai suatu faktor dalam sains, Allah semacam ini hanya berfungsi sebagai “god of the gaps”, Allah pengisi “celah-celah” yang masih belum bisa diisi oleh sains. Ketika celah-celah ini suatu saat berhasil ditutup oleh data serta bukti saintifik, Allah semacam ini akan menganggur, tak lagi aktif mengisi celah-celah sains. Belakangan ini ada berbagai usaha membangun “sains skriptural”, misalnya sains Vedik, sains Quranik, atau sains Alkitabiah. Tujuannya antara lain bersifat politis, yakni untuk mengunggulkan kedudukan satu agama dalam suatu negara. Akhirnya akan pasti tampak bahwa semua “sains skriptural” ini hanyalah pseudo-science (atau malah junk science, dalam penilaian para saintis tulen Barat) yang tak memiliki bukti empiris dan dasar teoretis saintifik apapun, sehingga hanya pantas dipandang sebagai doktrin keagamaan, seperti halnya kreasionisme dan intelligent design yang diciptakan kekristenan Amerika. Karena para agamawan kini sedang membawa agama ke dalam ranah sains dan ranah politik, tentu saja bisa dimengerti mengapa para saintis tulen (Barat) kini melakukan pembedahan atas semua klaim keagamaan dengan sebuah pisau bedah sains. 

Sampai kini, faktanya, tak ada satu bukti empiris apapun yang membenarkan klaim agama-agama teistik bahwa Allah itu ada. Penelitian fisikawan Victor J. Stenger, misalnya, malah menghasilkan suatu kesimpulan bahwa Allah itu tidak ada. Dua buku mutakhirnya perlu dibaca, Has Science Found God? The Latest Results in the Search for Purpose in the Universe (2003), dan God: The Failed Hypothesis. How Science Shows That God Does Not Exist(2007). 

Sains fisika kini mengargumentasikan bahwa jagat raya ini tercipta sendiri dari ketiadaan, karena bekerjanya gaya gravitasi supersimetri, prinsip relativitas, dan terjadinya fluktuasi quantum dalam suatu titik ruang-waktu yang kosong dan acak, yang tak memungkinkan adanya ruang kosong apapun yang tak berisi energi. Fluktuasi quantum ini bermuara pada suatu inflasi atau eskpansi besar yang selanjutnya menimbulkan big bang. Fisikawan besar Stephen Hawking adalah salah seorang saintis yang berargumentasi demikian, dalam bukunya The Grand Design (2010).


 
Kini, para “saintis skriptural” Barat, dengan topangan dana dari The John Templeton Foundation, sedang fokus pada berbagai penelitian terhadapmind, pikiran, dengan harapan bahwa mind bisa dibuktikan sebagai suatu zat spiritual, bukan zat material. Alasan mereka: Jika pikiran manusia adalah suatu zat rohani, maka Allah sebagai roh tentu ada. Tapi pertanyaannya adalah: Mengapa pikiran manusia lenyap ketika otak tidak lagi menerima pasokan nutrisi, hormon dan oksigen, ketika tak ada lagi energi kimiawi neurologis yang mengalir dalam otak manusia, ketika manusia mati? Bukankah kalau pikiran manusia itu suatu zat rohani yang independen, tak terikat pada zat material organ otak, pikiran ini akan tetap ada kendatipun otak rusak atau manusia si pemilik otak mati? 

Kalangan skripturalis teistik berkeras bahwa manusia adalah suatu ciptaan unik Allah, yang menjadi hidup karena hembusan roh Allah, dan ada dalamplanning Allah sejak awal untuk menjadikannya mahkota termulia dari semua ciptaan lain, untuk berkuasa atas jagat raya. Namun para saintis menegaskan bahwa manusia adalah salah satu bentuk kehidupan yang pada level fundamental tak berbeda dari semua benda material lain dalam jagat raya, yang tersusun dari partikel-partikel subatomik u-quarkd-quark dan elektron. Sains evolusi menunjukkan bahwa manusia muncul di Bumi sebagai suatu hasil proses evolusi biologis sangat panjang menurut suatu mekanisme seleksi alamiah, proses evolusi yang terus berlangsung acak, buta, tak bertujuan, tak terencana dan tak terpandu oleh kekuatan eksternal adikodrati apapun. Sains biologi sintetis di tahun 2010, seperti ditunjukkan oleh The J. Craig Venter Institute di Amerika Serikat, telah berhasil membuktikan dalam laboratorium bahwa kehidupan cukup dihasilkan dari zat-zat kimiawi yang mati, yang persenyawaannya berlangsung menurut suatu informasi genetik yang disusun secara digital oleh sebuah komputer. 

Sebagai orang beragama, kita tentu ingin agama tetap bisa memandu sains. Kenyataannya, sains bergerak masuk ke wilayah-wilayah yang dulu hanya dikuasai oleh agama, dan merebutnya dari tangan para agamawan. Maka para agamawan tak pelak lagi harus bekerja keras mencari jalan-jalan lain, dengan langkah pertamanya adalah memahami sains secara objektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar