Minggu, 24 April 2011

Panteon Kristen


Tritunggalisme kekristenan Barat dibangun dengan memakai kerangka pemikiran filosofis Yunani-Romawi beberapa abad setelah masa kehidupan Yesus. Anehnya, para sistimatikus Kristen mengklaim bahwa doktrin ini berpijak kuat pada Perjanjian Lama. Dalam penilaian saya, mereka yang mengklaim demikian sebetulnya membaca dan memahami teks Perjanjian Lama dari kaca mata doktrin ini. Di tangan mereka, Alkitab bagaimanapun juga harus mendukung dogma gereja, dan dogma gereja harus mengendalikan dan mengarahkan penafsiran Alkitab. Karena mereka memaksa Perjanjian Lama untuk mendukung tritunggalisme Kristen, maka yang dihasilkan adalah sesuatu yang sama sekali lain dari doktrin ini.


Mereka biasa memakai teks Kejadian 1:26 untuk mendukung tritunggalisme Kristen. Teks ini memuat ucapan Allah, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan ....” Nah, kata ganti orang pertama jamak “kita” dalam teks ini ditafsir oleh mereka sebagai kata ganti yang menunjuk pada Allah yang terdiri atas tiga oknum. Penafsiran semacam jelas sangat dipaksakan. Pertama, kata ganti orang pertama jamak “kita” tidak harus menunjuk pada tiga oknum, tetapi bisa juga menunjuk pada dua oknum, empat oknum, seratus oknum, seribu oknum, sepuluh ribu oknum, dan seterusnya.

Kedua, pada ayat selanjutnya (ayat 27) ditulis, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah Dia menciptakannya;....” Pada ayat ini, Allah disebut dengan kata ganti kepunyaan orang ketiga tunggal “-Nya”, tidak dalam kata ganti kepunyaan orang ketiga jamak “mereka”, dan dengan kata ganti orang ketiga tunggal “dia”, tidak dalam kata ganti orang ketiga jamak “mereka”. Jelas, ayat 27 ini menyatakan Allah itu tunggal, tidak jamak. Jadi, karena ayat 27 harus dikaitkan dengan ayat 26, maka kata “kita” dalam ayat 26 bukan mau menyatakan kemajemukan atau pluralitas bahwa ada lebih dari satu Allah atau bahwa Allah terdiri atas tiga oknum. Allah tetap satu, tidak terdiri atas tiga oknum. Jika demikian, mengapa pada ayat 26 dipakai kata ganti orang pertama jamak “kita”? Mengapa tidak dipakai saja kata ganti orang pertama tunggal “aku”? Ada beberapa jawaban lain yang bisa dipertimbangkan.

Seorang penguasa yang dihormati bisa memakai gaya bahasa pluralis mayestatis dengan menyebut dirinya “kami” ketika sedang berbicara di hadapan banyak orang untuk menyatakan kewibawaan dan kehormatannya. Tetapi penjelasan seperti ini tidak cocok untuk teks Kejadian 1:26. Pada teks ini, Allah sedang mengajak pihak-pihak lain untuk melakukan suatu tindakan, “Baiklah Kita menjadikan manusia....” atau “Marilah Kita menjadikan manusia....” Pada teks ini Allah tidak sedang menyatakan kewibawaan atau kehormatan-Nya di hadapan pihak-pihak lain, melainkan Allah mengajak pihak-pihak lain untuk bersama-sama melakukan suatu tindakan penciptaan manusia. Tidak ada gaya bahasa pluralis mayestatis pada teks Kejadian 1:26. Kesimpulan ini diperkuat oleh teks-teks skriptural lain yang juga menampilkan Allah memakai kata ganti orang pertama jamak “kita” ketika Dia berbicara (Kejadian 3:22; 11:7; Yesaya 6:8) kepada/bersama atau atas nama pihak-pihak lain atau mengajak pihak-pihak lain ini untuk melakukan suatu tindakan bersama, bukan untuk menonjolkan kekuasaan dan kehormatan-Nya.

Penjelasan lainnya menyatakan bahwa pemakaian kata “kita” oleh Allah dalam teks-teks skriptural di atas adalah sisa-sisa dari agama politeistik Kanaan yang melatarbelakangi agama Yahwisme yang dianut bangsa Israel sebelum mereka akhirnya menganut monoteisme seperti diekspresikan dengan kuat pada abad keenam SM oleh Deutero Yesaya (Yesaya 40:12-31; 44:1-8; 44:24-25; 45:22-25; 46:8-9). Kata Ibrani untuk Allah adalah elohim, dengan akhiran “im” sebagai akhiran untuk kata benda jamak—ini bisa dilihat sebagai suatu peninggalan dari politeisme yang memercayai banyak allah. Penjelasan seperti ini tentu harus diperhitungkan dengan serius, mengingat agama Israel kuno juga memiliki karakter-karakter seperti yang dijumpai dalam agama-agama politeistik, misalnya menetapkan satu ilah untuk satu kawasan tertentu sebagai penguasanya. Tetapi, dalam teks skriptural di atas, ketika Allah menyebut kata “kita”, Allah ini tidak sedang bersaing dengan allah-allah lain yang setingkat atau setara dengan-Nya. Yang terbaca dalam teks adalah bahwa Allah mengambil inisiatif untuk mengajak pihak-pihak lain di luar diri-Nya untuk ikut serta dalam suatu tindakan yang akan dilakukan-Nya. Allah tetap memegang kendali atau otoritas, dan pihak-pihak lainnya diajak-Nya untuk melakukan suatu tindakan. Konsep religius semacam ini tidak ada dalam politeisme yang umumnya menempatkan semua allah sama tinggi dan sama berkuasa dan semuanya harus disembah manusia dengan sama rata.

Penjelasan yang bisa jadi paling pas didapat jika kita memperhatikan beberapa teks Perjanjian Lama lainnya. Allah memakai kata ganti orang pertama jamak “kita” karena Dia sedang berbicara dalam apa yang dalam Alkitab Terjemahan Baru LAI disebut sebagai “dewan musyawarah TUHAN” (Yeremia 23:18, “Sebab siapakah yang hadir dalam dewan musyawarah TUHAN, sehingga dia memperhatikan dan mendengar firman-Nya?”). Dalam terminologi yang lebih umum, dewan musyawarah TUHAN ini (teks RSV memakai sebutan “council of the LORD”) disebut sebagai panteon. Ayub 1:6-12 dan 2:1-6; 1 Raja-raja 22:19-23; dan Yesaya 6:1-6 menggambarkan bagaimana panteon itu dijalankan. Allah memimpin suatu sidang surgawi yang dihadiri para serafim, anak-anak allah, juga iblis, dan bala tentara surgawi. Allah memegang kendali atas jalannya persidangan; Allah mengajukan beberapa hal untuk diperbincangkan dan dibahas bersama; semua yang hadir ambil bagian dalam rapat. Masing-masing pihak di luar diri Allah boleh mengajukan pendapat atau saran sendiri. Jika Allah menyetujui saran itu, maka si pengusul boleh melaksanakannya. Tentu saja, untuk menunjukkan bahwa semua yang hadir ambil bagian penuh dalam permusyawarahan untuk mengambil keputusan bersama, Allah memakai kata ganti orang pertama jamak “kita”, sehingga semua yang hadir terlibat di dalamnya.

Nah, dalam konteks panteon inilah kata “kita” yang dipakai Allah harus diletakkan. Jadi, kata ganti orang pertama jamak “kita” yang diucapkan Allah dalam sekian teks Perjanjian Lama di atas sama sekali tidak boleh ditafsir untuk mendukung tritunggalisme Kristen yang sama sekali berbeda dari panteon. Jika para sistimatikus Kristen tetap ingin menafsirkan kata “kita” itu untuk memberi landasan skriptural pada dogma tritunggalisme Kristen, hemat saya lebih baik nama doktrinnya diganti menjadi doktrin panteon Kristen, sehingga Yesus Kristus, di samping iblis, menjadi salah seorang peserta rapat surgawi yang dihadiri lebih dari tiga oknum. Nah loh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar